A Gentle Pat

5bc2a43b29523904d71366ee65eb4f31

It’s 2016 already.

Tahun 2015 adalah tahun yang paling cepat berlalu buat gue. It goes so fast like a blink of an eye.

But I had a very memorable Christmas and New Year moment, so no complaint at all.

Pas malam Natal, dengan impulsifnya gue memutuskan ikut Misa di Katedral. Saking semangatnya, ga pake mandi dulu karena keputusannya mepet. FYI aja, tiap Natal (dan Paskah), umat jadi kiasu, 1-2 jam sebelum acara sudah standby di gereja. Gue sampai 1 jam sebelum misa, dan tetap ga kebagian kursi dan akhirnya ngemper di lorong. Perginya macet-macetan, pulangnya apalagi. Kalau bukan karena bareng keluarga, pasti gue milih di rumah aja deh.

Tanggal 25nya, dihabiskan dengan nonton Star Wars (in IMAX!) dan ngemall seharian. Sebenarnya, bukan begini Natal ideal buat gue. Natal yang selama ini gue rindukan adalah waktu gue masih SD dan tinggal di Kalimantan. Soalnya Natalan-nya sama seperti Lebaran = open house! Nyokap bikin kue, menghias pohon natal, minuman kaleng (Mirinda! Soya!) dan tamu-tamu tetangga yang datang ke rumah. I know, i’m an introvert, but that’s the only time I didn’t even bother to complain. Seru banget deh.

Agak sedih sih, kalau gue inget, gue sekarang di Jakarta, jadi ga bakalan ngalamin suasana seperti itu lagi. My boyfriend, being a good guy a he is, says “Nanti kita aja yang bikin tradisi Natalan seperti itu”.

Which is so sweet, i couldn’t help but to hug him instead.

Malam Tahun baru, dilewatkan dengan ngajakin nyokap nginap di rumah mas pacar. Padahal sih bukan gue jg yang bebersih, tapi gue ikut bangga pas nyokap bilang dia betah di rumahnya. Besoknya, kita makan-makan sekaligus ngajakin nyokap nonton film. Seinget gue, sebelumnya gue cuma sempet ngajakin nyokap nonton Laskar Pelangi, jadi gue seneng banget waktu dia setuju sama plan gue utk nonton pas Tahun Baru.

And then, kembali ke laptop rutinitas sehari-hari, yang membosankan. I’m really grateful for my job, i really do. Tapi terkadang, bisa sangat membosankan seperti beberapa minggu ini. Kerjaan itu emang begini deh, sekalinya nganggur bikin bosen setengah mati, sekalinya sibuk bikin lo keteteran banget.

Saking membosankannya rutinitas gue, apalagi yang gue lakukan selain scrolling Facebook, Twitter & Instagram dan menghabiskan quota internet gue. Yeah, running away from reality is one of our expertise nowadays, sponsored by social media. Dan kegiatan stalking medsos, seperti yang gue tuliskan di posting sebelumnya, yang ada bikin lo tambah nelangsa.

Beberapa hari ini, gue jadi iri dengki sama teman gue yang check in di bandara dengan suaminya, dengan tujuan keluar negeri. Iya gue ngerti, itu manusiawi dan agak memalukan (hey, at least i’m being honest here). Pertama, karena gue sebenernya ga segitunya suka travelling, to be truth? i hate flying. Kedua, they’re travelling on purpose, which is honeymoon. Yeah, i found out that they haven’t got a baby, just by reading the comments below her status. Jadi, sebenernya apasih yang bikin gue iri dengki? Emang gue aja yang ga ada kerjaan *tepok-tepok pipi*.

And the Universe, gave me a pat on my shoulder. Untung ya ga dikasih ‘teguran’ berupa tabokan hahaha.

Jadi, beberapa hari ini emang cuacanya panas banget, i just realize that i’m bitching it everyday to my boyfriend. Kemarin sore, tiba-tiba dia menawarkan untuk pulang bareng. Gue tentu saja bersuka cita karena tidak perlu berpanasan naik Kopaja. Gue ga menduga apa-apa, sampai tiba-tiba dia parkir di sebuah mall dekat rumah. Ternyata dia sengaja ngajak pulang bareng, karena mau membelikan gue jaket baru. Gue speechless. Ga menyangka aja, selama ini dia take note dengan semua komplainan gue. Ya karena, gue sering ngomel untuk melampiaskan kekesalan aja, setelah itu… lupa deh hahahha (ga bertanggung jawab).

“Nah, ini ya udah dibeliin jaket baru, lebih ringan jadi ga bikin kamu kepanasan lagi”

I dunno what i’ve done, to deserve such a sweet guy like him. :’)

Gue beneran ngerasa ketampar karena kejadian kemarin ini. Akhirnya gue sadar bahwa gue selama ini terlalu sibuk melihat ke depan (menunduk ngeliatin handphone to be exact), dan lupa dengan orang di sekitar yang benar-benar sayang sama gue. Boro-boro gue inget, pacar gue lg mengeluhkan apa (dia malah jarang ngeluh sih), yang ada gue lg banding-bandingin diri sama temen gue yang lagi plesiran. Padahal ya, gue juga ga pengen-pengen banget traveling, dan gue ga tahu apa yang dia alami (mungkin saja, selama ini dia stres karena blm berhasil punya anak? who knows kan). Gue terlalu banyak menghabiskan waktu dengan handphone gue. Padahal yang perlu gue perhatikan, ya yang di sekitar gue. So now, I’m currently cutting my time with gadget and I’m gonna replace it with my old lover, books!

Bahagia itu kan (seharusnya) memang sederhana, sesederhana memberikan perhatian kepada orang yang tersayang.

We’re surrounded with the people that care for us, please dont take them for granted.

~C

Life so far…

Tag

,

image

So….

It’s been a year since my last post. The truth is, i really forgot this blog and i lost my phone (again). One year, one phone, udah kayak orang bener aja gue.

Ketika gue baca ulang post yang pernah gue tulis setahun lalu, gue sadar satu hal. Keadaan gue kurang-lebih sama seperti setahun lalu, but i’m happier. I don’t really know why, i just feel like, i’m okay, i love myself right now. Contentment? Maybe.

Gue cukup sering melakukan refleksi diri (bukan, bukan pijat kaki itu, okay back to topic) dan gue rasa yang sering bikin gue ga bahagia itu, karena gue ngebandingin diri sendiri dengan orang lain. Apalagi orang yang lebih daripada gue. Jadi solusinya? Ya jangan kejebak sama pikiran sendiri yang maunya bikin perbandingan. Gue beberapa kali unfollow IG user, karena awalnya lucu yah orangnya cantik trus bajunya bagus-bagus, temennya keren-keren. Trus lo end-up kayak orang terobsesi yang nge-scroll2 akunnya sampe mata pegel. After you do that, you feel empty. Or stupid, why would you spend your time (and credit) stalking someone you don’t even know. Guilty pleasure, i know *pake eyemask*

Daripada gue wasting time seperti itu, gue unfollow aja. Same thing goes to facebook newsfeed. Pokoknya hal yang bikin lo ngeblank karena sibuk sendiri deh, gue cut itu semua. Lalu apa yang gue lakukan? Back to my old love, books. Seriously, baca buku itu selalu bikin lo ngedapetin insight baru. Gue ngerasa “kaya” setiap kali menamatkan baca buku yang bagus. Kudu diunderline ya, buku yang bagus, terakhir gue baca Life of Pi-nya Yan Martel.

Selain itu? Nonton film. Setelah gue menghabiskan bonus tahunan untuk beli hape baru, gue jadi bisa save film di hape. Yeay to technology! Jadi gue pun rajin buka-buka situs imdb untuk cari film jadul yang bagus (yang terakhir gue tonton Memento (2000) oleh Christopher Nolan).

Music? Gue baru seminggu ini install joox. Ini bukan posting berbayar ya (gile lu Ndro), but i really love this apps! Sejak pake joox, gue udah jarang denger lagu dari ipod, karena gue cukup bawa hape aja. Gue bisa denger lagu yang baru dirilis (hello Sara Bareilles!) dan kalau lagi no idea mau dengerin apa, bisa pilih playlist yang direkomendasikan. Pilihan playistnya bagus dan normal macam The Best of… atau … Top Hits, dan ada yang lucu-lucu macam Angker alias Anak Kereta, Tua di Jalan, Goyang Terosss atau Dangdut Broh (yes they had dangdut too).

Banyak bener kan, gimana mau mellow sana-sini kalo lo punya banyak buku, film dan musik yang bisa menemani lo?

Mudahan gue ga jinx ngeblog gini ya.
*cross finger*

~C

Finalement

Tag

,

c2d570265420c78a18bdaa7ab9c341b4

Phew, it’s like i’m just sneezing and now we’re on the edge of 2014.

Let’s see, what have i done this year.

Nope. I’m not gonna do it, because everytime this season approach, i get the depressing feeling that’s keep bugging me until i had to eat ice cream for my rescue.

Gue ga suka bikin resolusi tahun baru, padahal gue suka bikin list. Oxymoron much? Entahlah, gue ngerasa jadi beban aja kalau bikin resolusi lalu pas akhir tahun ga semuanya kecentang. So, i decided not making any, and not feeling guilty on New Year’s Eve. Tapi itu tetap ga bikin hilang rasa hampa kalau inget-inget gue udah ngapain aja setahun ini.

I barely remember my milestone (yeah, that’s why i intend to write a blog, so i would remember ~ but look at me now, okay that’s another story). But i remember this year, i get a steady job and had a great vacation to my boyfriend’s home, meeting his family. This year, i’ve been to Bali & Bandung (twice!), kalau dipikir-pikir memang ngga terlalu interest in traveling, tapi sebenarnya gue suka banget mendatangi tempat-tempat baru. Anything new? naah, i think i still the same old me.

Di tahun ini, shocking news buat gue cuma saat mantan gue nikah, dan gue tahunya karena dimessage kakaknya via FB (abis itu gue off notif untuk profile kakaknya). I’m so over him actually. Yang gue permasalahkan adalah, sebelumnya kita pernah bahas soal kalau-lo-nikah-kabarin-ya. Am i the only person here, who took my own words carefully? Kalau gue bilang, gue akan ngabarin, i would do the damn thing. Because i’ve said so. So much for old friend sake, huh?

Gue sempet bete beberapa saat waktu itu, apalagi si kakaknya nanyain apakah gue dapat undangan, bukannya bertujuan mengundang juga (on behalf gitu). Padahal gue juga ga bakal bisa datang sih, terus mengapa kesal-kesal sendiri juga yak hahaha. I actually feel better, after i talk to my bestie. Dia mungkin satu-satunya orang yang mengerti kondisi gue, karena kita ngampus dan kos bareng, and she was there when we’re together as a couple. She said : “He just don’t cherished the memories like you do. You know, because the memories between you two not just about being lover, but being classmate-friend and almost close like a family. That’s why you’re so upset.” She reads me like an openbook, did she?

Then i found this quote saying “Life would be much easier, if we learn to let go the apology we never accepted”. That line, strike me deep.

With that, i realized all my ex have been married. And they’re guys, i thought guys don’t think of marriage so often like women do. Sometimes, i think i’m a guy in my previous life, hence my indifference. LOL.

Busyet dah, akhir taun malah ngomongin mantan, i’m soo lame.

Sebenarnya, selain mantan, ada beberapa orang lagi yang memang pergi dari kehidupan gue. My uncle passed away this year, he was the only one that close to my family. I remember he always touched my head whenever he meet me and my sister, he treated us like his own children, that’s why we get really sad when we got the news.

Friend? Oh i dunno, i’m really bad at this. That uncle guy from Facebook? it’s one. Ada seseorang yang sudah setahun ini, ga gue ketahui kabarnya, karena gue berhenti bicara dengannya. I simply put our relationship to an end. And they say that friendship never end. Meh. Ada juga seorang teman dekat pas kuliah, yang menjauh dengan sendirinya, sekarang saat dia kontak lagi seperti ngobrol dengan orang lain. In times, we just have to get used to things like this.

I really should stop writing when i’m feeling uneasy like this, rite?

Till the next post then 🙂

~C

2009

Going back to 2009.

Tahun itu, tahun yang jadi turning point gue. Gue punya teori, kalo cewek pasti mengalami perubahan drastis saat melewati umur 25. Itu cuma kesimpulan yang gue tarik, karena mengamati teman-teman gue saat itu dan ~tentu saja~ diri gue sendiri.

Gue lulus pertengahan 2008, yang akhirnya membuat gue LDR sama my college sweetheart. We didn’t make it. Gue akhirnya memutuskan dia dan jadian dengan gebetan saat SMA. Gue emang ga bisa jauh-jauh dari lingkungan sekolahan ya hahaha. Saat itu sebenarnya gue dilema, mau meneruskan hubungan dengan pacar semasa kuliah yang udah pacaran 5 tahun, atau mencoba jalan dengan teman baik yang sudah kenal dari SMA? In the end, the guy who do his best effort win me. I choose my high school crush.

Then me and my new boyfriend live happily ever after…NOT. As much as i wanted it to, tetapi ngga, kisah gue cuma bertahan sekitar setahun sebelum gue sadar, he’s not in love with me. He’s in love with the idea of spending his life with me, you know karena dia juga (ngakunya) sudah naksir gue dari jaman SMA. Saat itu gue ngerasa bodoh banget. Bukan karena gue nyesal sudah memutuskan pacar kuliah, karena sebenarnya gue pun tidak merasa ada kemajuan dengan hubungan gue itu. Pacaran 5 tahun memang mematikan rasa kali yah, hehe.

It’s just, gue (dulunya) tipikal cewek yang skeptis banget. I don’t want to get married, let alone have a child. I mean, what’s the point of having a spouse if you can do anything by your own? Mungkin ini cuma hasil pengamatan gue ke orang tua gue sendiri, khususnya nyokap. Nyokap gue yang kerja dan ngurusin anak, i don’t have any emotional bond with my father, because he’s always away or busy with himself. So, itu yang bikin gue punya pemikiran seperti itu. Married is not a thing i find interesting. Sekarangpun kalau skeptisnya gue lagi kumat, i still think this way.

Setelah digantungin 3 bulan, karena tidak ada kejelasan, gue yang inisiatif untuk mutusin pacar gue. Ga ada yang bisa dipertahankan dari orang yang cuma bisa maksa pasangannya untuk mengikuti maunya. Sorry dude, maybe you’re looking for some hopeless romantic girl, it’s really everything i’m not. Apparently, 6 bulan kemudian dia langsung punya pacar lagi dan langsung married. Phew, i really glad he let me go, vice versa.

Masa-masa sehabis putus itu yang rasanya dark age banget. Soalnya gue lagi meniti jenjang karir (tsah!), little that i know, nantinya gue bakal tambah kesasar lagi dalam hal kerjaan. Gue bahkan sempet jadian, ya sekitar 6 bulan dengan teman kuliah lain, yang sama-sama sedang recovery dari patah hati. We’ve become a rebound couple hahaha. Tapi gue cepet sadar dan akhirnya dengan berat hati (hey, he’s my comfort zone, off course it’s hard for me :P) memutuskan mas baik hati itu. Itu terjadi di pertengahan 2009.

Jadilah gue tambah kesepian, karena tidak punya teman dan pacar. Lalu gue ketemu seseorang dari… Facebook. Serius, tahun 2008-2009 kayaknya memang lagi hits-hitsnya aplikasi itu deh. Gue bahkan abis baca-bacain inbox gue dari jaman dahulu kala, dan senyum-senyum sendiri karena aneh aja. I didn’t know i was this girl before. Kayak orang lain.

Okay lanjut, orang yang kenalan sama gue ini, maybe just a random guy add me as his friend out of nowhere. Karena kita ga punya mutual friend, he’s just popped right there. Awalnya rada basi sih, soalnya kita ngobrol pake EYD. Soooo old skool. Then i found out he’s older than me, which is explaining a lot to me. Selisih 1 shio, meaning 12 years. He didn’t look older though, he sometimes look like.. Andy Lau. I know, om-om (ganteng).

Herannya sampai sekarang, gue ga pernah tahu hal-hal pribadinya. Mungkin kita cocok karena hanya dia, cowok yang level sungkannya melebihi gue. Awal akrabnya karena dia sering komen di status (dan sebaliknya), lalu ketika tidak ada yang nyapa, atau ingin menanggapi status (tapi tidak mau komen), jadilah kita inbox melulu.

Cerita ini muncul karena gue baru aja install aplikasi Messenger yang sekarang kudu ada di handphone untuk baca inbox Facebook. Then i remember him, a dear friend who helped me through my turning point. Gue inget pada saat itu, gue pernah di satu tahap yang berniat untuk dekatin dia, jadi gue rajiiiin banget ngepoin dia. Dan kalo gue baca-baca tulisan gue sekarang, kayak cewek hormonal deh *malu sendiri*. Untunglah dia engga nganggap gue pengganggu.

Gue engga ingat kenapa akhirnya jadi menjauh. Faktor gue mulai ketemu pacar gue yang sekarang, trus mulai muncul Blackberry dan kesibukan. Akhirnya lama kelamaan menjauh dengan sendirinya. Sekarang orangnya sudah ga aktif di Facebook. I texted him yesterday. He replied off course because he’s a gentlemen. Tapi rasanya udah beda, he seems far away. Kita masih satu pulau cuma beda kota sejarak 3 jam, tapi rasanya memang udah engga sedekat dulu lagi. Mungkin gue aja yang terlalu mendramatisir.

Anyway, i just glad that i know him. Gue sekarang nyatet-nyatetin lagi status dan inbox dia, because i’m such a sucker for beautiful quotes, or i just simply misses him. It just sad that we can’t rewind the memories, but i guess that’s the way life work. Life just.. go on.

Still in past tense

~C

Ngomongin Socmed

Kalau sebelumnya gue cerita ngga punya LinkedIn, futhermore, i despise Path. The highest acchievement in my social-media-life is making an Instagram account (dan berujung cuma dipakai stalking doang, hello princess S!)

Path? ah that so-called-exclusive social media yang bikin heboh lagi akhir-akhir ini, dari awal pas gue baca review mengenai aplikasi ini, sudah menduga kalau aplikasi ini ga cocok buat gue.

Dan melihat pengguna Path sekarang, i think i made the right choice, soalnya kebanyakan nge-add teman bukan karena dia memang se-deket itu atau care, tapi lebih karena kepo. This opinion came straight from my office mate ~yang engga berhasil ngomporin gue bikin Path. Peer pressure? apa itu peer pressure? hahaha.

Karena kalau memang untuk kalangan tertentu, are you sure you’re exclusive with additional 150 friends? Menurut gue, pengguna Path yang benar ya yang memang membatasi jumlah inner circlenya.

Dan gue, menilik sifat gue yang ga enakan, tentu ga enak kalo ngga meng-add dan/atau reject kenalan yang sebenarnya ngga kenal-kenal banget.

Apalagi dengan kasus status bocor beberapa kali, mulai dari soal keluhan ibu hamil, sampai antrian BBM di Yogya. Jadi, gue memilih mending ga punya sekalian dah. Beres. Nada. End of story.

Called me conservative, tapi media sosial yang masih aktif gue gunakan tetap Facebook. Walaupun isinya tambah ngga jelas sejak pilpres kemarin, yang berujung bisa bersih-bersih friend list yang ga-kenal-kenal-amat yang postingannya annoying.

Walaupun jadi engga bisa berekspresi total karena… nyokap, paman, tante, sepupu, any kind of relative ada di situ semua. But, hey you can always choose who’s you’re sharing your status with 😀

Karena gue jarang baca berita atau nonton tivi, jadi gue update berita dari… Twitter! Nowadays, if you follow the right account you might get the right info straight from the source. Ahoy @TMCPoldaMetro!

Sebenarnya awalnya gue mau ngomel-ngomel soal temen gue yang rese nanyain LinkedIn, kenapa jadi bahas media sosial yak?

The perks of being random hahaha.

My point is, whatever social media you’re using, use it wisely. Pick one that fits you. Punya banyak media bikin energi lo cepat habis. Not to mention, you’re being zombie petrified with your gadget all the time, it’s not cool honey.

Anyway, LegaTalk sounds like a great apps 😛

~C

Ngomongin Kerjaan

I don’t own a LinkedIn account.

 

Soalnya gue termasuk golongan lo-kuliah-apa-lo-kerjanya-apa. To be truth, gue senang dengan pekerjaan gue yang sekarang, walaupun ngga se-prestisius kerja di oil & gas company, seperti kebanyakan lulusan dari jurusan gue.

Sometimes it’s a problem, sometimes it’s not, tergantung kondisi hati gue aja hehe.

Gue rada capek, menjelaskan kenapa akhirnya jenjang karir gue yang melenceng jauh dari studi gue. Dan percayalah (udeh percaja aje), bikin LinkedIn itu ga membantu karena pertanyaannya ga akan berhenti sampai “Kamu kerja dimana?”. They would ask why this? why that?

Lebih annoying lagi, kalau yang komen “Lo kurang usaha sih” atau “Lo harusnya coba lagi sampai masuk”.

Bok, i’ve been there.

Gue juga tauk kali kalo kerja di perusahaan asing itu bakal gaji gede blablabla. Siapa bilang gue ngga nyoba? Gue pernah ikut recruitment sampai ke Bandung, and fail miserably in Pauli Kraepelin test. Siapa bilang anak teknik pasti suka hitung-hitungan =__=.

Pada akhirnya gue memilih kerja yang ada, karena guilty feeling sama ortu. Being unemployee is the most devastated stage of my life, i feel useless. Istilahnya, kerja apapun deh daripada engga kerja sama sekali.

Saat itulah gue dimutasi ke bagian keuangan, dst dst. I end up, far far away from what i studied.

Ini kantor gue yang keempat, bukan di bagian teknik, bukan keuangan, tapi administrasi. I’ve been trying my luck in finance, seperti history terakhir. Tetapi gue engga ngerti pajak dan gue sungguh ngeri disuruh tandatangan form pajak, yang gue engga ketahui macam apa perhitungan dan benar/salahnya. Di kantor sebelumnya gue hanya staff yang masih diarahkan, jadi memang gue belajar pelan-pelan. Siapa yang sangka, kantornya malah tutup.

Jadilah gue manusia setengah-setengah. Pengangguran lagi pula. Don’t get me wrong, nilai pelajaran gue cukup bagus. Gue (seperti semua pencari pekerjaan lainnya) ga dapat kesempatan. Kalaupun pada akhirnya gue memilih menerima pekerjaan yang ada (supaya engga nganggur aja), gue tetap kerja sebaik-baiknya.

Cuma, gue tetap engga nyaman kalau ditanya history pekerjaan gue. Seolah gue berkhianat sama ilmu gue. Engga usah jauh-jauh, kadang nyokap gue dengan polosnya ngomong “Udah kuliah lama (almost 5 tahun), ilmunya ga kepakai kan sayang”. Dia bercanda (kayaknya), but it cuts deep in my heart.

Gue tahu kerjaan gue yang sekarang, cuma bisa menyisihkan sedikit untuk gue tabung, untuk jadi dana pensiun gue. Heck, bahkan gue terhitung telat dalam hal saving salary, karena di tahun pertama gue kerja, gue ngga bisa nabung. Karena saat itu gajinya di bawah UMR, what do you expect lha, makanya gue pindah.

Pekerjaan gue sekarang, walaupun tambah jauh dari yang seharusnya, tetapi sudah lebih baik dan yang paling penting, gue happy. Kalaupun ada keluhan mungkin di pihak gue aja yang suka merasa, “I can do better than this”.  Manusia memang tidak pernah puas kan?

Gue engga terlalu dekat dengan teman seangkatan gue. Faktor gue yang introvert dan pas kuliah teman gue ya itu-itu saja. Tetapi kalau ada teman seangkatan yang nanya account LinkedIn gue (invitation yang akhir-akhir ini muncul di email gue), gue ngga yakin mereka mau dengerin cerita gue sampai sepanjang ini. Maklumlah, namanya juga cuma kenal nama, engga temenan yang deket gitu.

Mungkin gue cuma minder dengan mereka yang berhasil kerja sesuai jurusannya, mungkin gue juga malas untuk cerita ini dari awal ke orang yang cuma nanya karena kepo bukan karena care. Mungkin saja.

So i better stay under radar, no LinkedIn whatsoever.

back to the bat cave

~C

Rambling

Oh hi there,

Turns out my phone is okay. Jumat lalu sepulang kerja, gue beli silica gel dan semalaman merendam hape dalam silica gel (instead menggunakan beras seperti saran-saran yang gue google). And the next morning, bercak air yang ada di layar sudah menghilang (masih tersisa sedikit sih), but sudah lebih baik daripada kemarin. As my friend says, “ada rupa ada harga, ga segampang itu juga iphone rusak”. Say what you wanna say, i’m just glad i didn’t have to go to the service center.

How’s weekend?

Gue menghabiskan hari Sabtu dengan nonton 50 First Date dilanjut Blended, and damn, Drew Barrymore even more prettier in her new movie than 10 years ago. I wonder what kind of product she used for her skin *lho*. Filmnya sendiri rom-com, yang kalau lo abis nonton bakal ngerasa heart-warming gitu deh. Cocok untuk Saturday mood hahaha. Anyway, just realize i love love the 50 First Date’s soundtrack, lagu-lagu dengan iringan ukulele memang bikin ceria deh.

Sorenya, setelah jemput mas pacar, off we go to Cinere. You know, kalo dulu ada yang bilang bahwa gue bakal tinggal di daerah Jakarta coret (alias pinggiran), gue bakal mendelik ga percaya (iya gue dramatis). The truth is, pengalaman gue punya rumah sendiri cuma sampai SMA saat di Kalimantan. Deep down, i still feel like, someday i’m gonna go back there. Tetapi lama-kelamaan, sejak adik gue married dan tinggal di Cinere, my mom encourage me (and le boyfie) to get one near my sis home.

Soal urusan rumah-rumahan ini, kadang membuat gue sedih. First time i got a job, i feel limitless. Heck, i even have a dream to own a house one day, because my dad didn’t have a backup plan when he moved the entire family to this city. Jadilah kita menumpang di rumah saudara… sampai sekarang. Walaupun si saudara tidak komplain (at least sepengetahuan gue sih engga yah), tetapi kan sewajarnya kita tahu diri dong yah. Sayangnya, sampai saat ini gue belum mampu untuk mewujudkan mimpi yang itu.

I have a dysfunctional family, i admit it. They’re good people, my mom and dad, they just don’t work together. Naah they didn’t divorce, you know, produk jaman dulu yang ga kenal sama istilah itu hehehe. There was a time i get love/hate relationship with them, but in time as i get older, i learn to accept them as they are. It takes time surely, a lot of time.

But that’s gonna be another story.

So, see you around?

~C

Nice People

Baru aja senangsenangnya mau nulis via smartphone, eh pagi ini hape kemasupan air. Bukan kemasukan as in kecemplung got atau ketumpahan kuah mie sih.

Tadi pagi, ada ibuibu yang minta tisu basah ke gue. Mintanya spesifik pula, tisu basah. Being the nice me (pret), ya gue bagi dong. Gue emang selalu bawa tisu basah & tisu kering, padahal tisu basah aja jarang gue pake sebenarnya. Anyway tisutisuan ini selalu gue taruh di tas bagian dalam.

Pas ibu itu ngembaliin tisu basahnya, gue refleks masukin tisu basah itu ke tas bagian depan. Which is bukan kebiasaan gue, ga mengembalikan barang ke tempat semula diambil (gue pake backpack btw). Dan di situ letak kesalahan gue. Tas bagian depan gue emang isinya macemmacem, dari lipbalm, uang kembalian, kartu flazz, sampai ipod dan hape, supaya gampang diambil kalo pas bergelantungan (apa coba) di TJ.

Turun dari TJ, gue jalan kaki 15 menit-an sampai kantor, dan kebetulan banget hari ini gue ga mainan hape. Sesampainya gue di kantor, langsung syok lihat layar hape gue ada bercak air. Tenyata si ibu tadi menutup plastik tisu basahnya ga rapat. Panik? jelas. Soalnya baru 5 bulan lalu blackberry gue hilang (dicopet di Kopaja), dengan terpaksa jadi gue beli hape baru. I can’t afford a new one now.

Sebenernya ga sampai basah kuyup, tapi airnya udah keburu masuk dari tombol volume yang ada di bagian samping hape. Gue langsung lap kering, dan sekarang hapenya gue taruh di samping laptop biar kena angin blower dari laptop dalam kondisi off. Abis itu nelangsa deh rasanya.

Dalam hati gue ngomong, padahal kan niat gue baik mau nolongin orang, kok malah jadinya hape gue rusak. Kalau tadi gue purapura aja bilang ga punya tisu basah, ibu itu juga ga akan tahu. I know, i sound soooo pamrih. I don’t like myself having the thought like that too. But i can’t help it.

Then i realize this :

“Asking life to be fair to you, is like asking a lion not to eat you because you’re vegetarian.”

As much as i hate this, ini semua ya karena kecerobohan gue sendiri. Gue pikir berbuat baik sama orang lain itu harmless kok. Sekarang apakah gue cuma mau berbuat baik kalau hasilnya baik buat gue? Bagaimana kalau dari awal gue tahu, dengan nolongin orang lain akan membuat gue kecewa? Will i still done it?

Too much thought for this morning. The truth is, gue lagi bingung mendingan ini hape di bawa ke service center (which gonna cause me bankruptcy) atau coba rendam di beras selama 24 jam dulu?

More thought, just realize i don’t remember my family’s number, bagaimana caranya ngehubungin orang rumah inihh?? *panik*

~C

Hello

Akhirnya bikin wordpress juga.

 

I used to write -as we usually do– to vent out my feeling.

You know, those things that you can’t say or tell to anyone

Because you (or maybe just me?) scared they wouldn’t understand

Yeah, i know i should try harder

To communicate to other, instead doing self-talk all the way

 

For now, i started writing it down

Mudah-mudahan rajin nulisnya hehe

 

First of all, gimana post dari smartphone ya?

~C